Slider

ads slot

Artikel Terbaru

Profesionalisme Guru Tahun 2009

Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia keguruan Indonesia.
Dengan jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya, seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti dokter dan wartawan.
Sebanyak 29,5 persen responden berpendapat bahwa profesi guru merupakan profesi yang paling diminati oleh mereka, disusul profesi dokter/bidan dan peneliti/ilmuwan pada profesi berikutnya. Profesionalisme dalam arti dasar adalah ketika seseorang bekerja sesuai dengan basis pendidikannya masing-masing. Seorang pengajar di lembaga pendidikan haruslah berpendidikan dari lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK). Ketika lulusan LPTK bekerja menjadi akuntan, itu tidak bisa dikatakan profesional. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan (baca: imbalan) adalah hal wajar ketika seorang profesional mendapatkan imbalan memadai karena dia akan bekerja maksimal sehingga menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Hubungan antara profesionalisme dan imbalan bersifat linear.
Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dunia keguruan, gambaran tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen disahkan. Sebelumnya profesi guru tidak lebih seperti "pepesan kosong". Dari luar kelihatannya sangat elok dan menarik, tetapi isinya kosong. Jabatan guru memang mendapatkan tempat di hati masyarakat, tetapi ketika berbicara tentang kesejahteraan, nilainya sangat minim (baca: kosong). Di Indonesia hal yang linear itu tidak terjadi.
Alibi dari minimnya kesejahteraan tersebut adalah kemampuan negara yang memang minim. Di satu sisi alibi ini bisa diterima, tetapi di sisi lain sulit diterima. Di luar alibi tersebut realitas berkata, sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, kesejahteraan guru betul-betul sangat minim.
Jangka waktu disahkannya UU Guru dan Dosen ini sangatlah lama. Dalam amatan penulis, secara sederhana kondisi ini telah menimbulkan beberapa masalah dalam dinamika kehidupan guru yang tampaknya masih terkandung sampai sekarang, termasuk ketika UU Guru dan Dosen telah disahkan pemerintah baru-baru ini. Masalah tersebut adalah masalah kultural/tradisi, moral, dan struktural.
Tantangan
Kemunculan masalah kultural/tradisi bertitik tolak dari permasalahan waktu. Lamanya kondisi guru berada dalam ketidaksejahteraan telah membentuk tradisi-tradisi yang terinternalisasi dalam kehidupan guru sampai sekarang. Konkretnya, tradisi itu lebih mengacu pada ranah akademis.
Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan.
Dalam praktiknya, seorang guru sering kali lebih banyak berjibaku (baca: berkonsentrasi) dengan usahanya dalam memenuhi kesejahteraan keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung sampai sekarang. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan.
Permasalahan moral muncul hampir berbarengan dengan permasalahan kultural. Hemat penulis, permasalahan moral ini bisa disamakan dengan permasalahan watak dari guru itu sendiri. Akar masalahnya sama, muncul sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan guru. Minimnya kesejahteran guru secara tidak langsung telah menggiring guru-guru dalam ruang-ruang sempit pragmatisme. Yang terbayang oleh seorang guru ketika melaksanakan proses pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa dengan cepat menyelesaikan target studi yang telah dirancang. Setelah itu guru bisa langsung beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan pendapatan karena kesejahteraannya minim. Akhirnya, pendidikan yang seyogianya diselenggarakan melalui proses memadai terabaikan. Hasil akhir menjadi target utama dibandingkan dengan proses yang dilaksanakan. Inilah wujud nyata dari watak-watak pragmatis.
Permasalahan struktural lebih mengacu pada kondisi atau struktur sosial seorang guru di luar proses pendidikan (baca: lingkungan sosial). Jika mengacu pada sumber masalah, hal ini berasal dari minimnya kesejahteraan yang dimiliki seorang guru. Minimnya tingkat kesejahteraan secara materialistis dari seorang guru telah menyebabkan posisi sosial guru di masyarakat tersubordinasi.
Posisi sosial guru menjadi terkesan lebih rendah daripada masyarakat lain yang berprofesi bukan guru, katakanlah itu seorang konsultan, manajer, pengacara, dan lainnya. Padahal, seperti kita ketahui, secara hakikat, profesi yang digeluti seseorang adalah sama, tidak saling menyubordinasi. "Inferiority complex"
Yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal ini adalah efek dari subordinasi sosial tersebut. Efek tersebut adalah perasaan rendah diri dari seorang guru, atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer sebagai inferiority complex. Bagi seorang guru, perasaan rendah diri seperti ini merupakan hal yang harus dihindari. Fungsi guru sebagai pentransformasi sosial kepada peserta didik memerlukan kepercayaan diri yang besar. Bukan tidak mungkin perasaan-perasaan rendah diri tersebut akan menular kepada peserta didik. Hal ini tentu saja sangat berbahaya.
Simpulan sederhana dari ketiga masalah tersebut adalah bahwa akar permasalahan guru kontemporer adalah tingkat kesejahteraan. Minimnya tingkat kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok. Di luar kontroversi tentang UU Guru dan Dosen tersebut, kita mendapatkan pembenaran dari UU Guru dan Dosen tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Lima tahun pascapengesahan UU Guru dan Dosen merupakan masa transisi menuju profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam konteks menuju profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas seyogianya diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Ketika tahun 2009 diisi oleh kerja keras guru dalam menjawab ketiga tantangan tersebut, perjuangan menuju profesionalisme guru telah melaju beberapa langkah ke depan. Dengan demikian, menjadi hal wajar apabila tahun 2009 dijadikan sebagai tahun menuju profesionalisme guru seutuhnya. Semoga tahun 2009 menjadi kado manis bagi dunia pendidikan Indonesia.

Berbagi di Google+

About Rizki Ramadhan

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: